VIRALNYA COKLAT ALFAMART SIAPA YANG MENCURI SIAPA YANG MINTA MAAF

Heboh video tentang aksi pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu-ibu, dimana di dalam video yang diunggah dan dibagikan tersebut memperlihatkan seorang ibu-ibu yang diduga telah mencuri coklat disalah satu toko alfamart. Video yang diunggah itupun akhirnya menjadi viral di media sosial maupun di media elektronik.

Pengaturan tentang larangan melakukan pencurian tercantum dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pencurian. Dalam Pasal 362 dikatakan “barangsiapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah, yang jika dikonversi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. menjadi Rp. 9.000.000,- (Sembilan juta rupiah).

Tindakan ibu-ibu yang mengambil coklat disalah satu alfa mart dengan cara mengambil, dan memasukkannya ke dalam tas dan membawanya pergi, tanpa membayarnya terlebih daulu, jelas sudah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana pencurian. unsur-unsur dari tindak pidana pencurian yaitu tindakan yang dilakukan ialah mengambil, kemudian yang diambil adalah barang, yang dimaksud barang ialah semua benda yang berwujud, seperti uang, baju, perhiasan, dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tak berwujud seperti aliran listrik. Kemudian status barang itu sebahagian atau seluruhnya menjadi milik orang lain, dalam hal ini coklat itu merupakan milik alfa mart yang berada dalam pengawasan karyawan alfamart, kemudian tujuan dari pencurian itu adalah dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, melawan hukum dalam hal ini melanggar aturan atau larangan yang telah ada, dan melakukan pengambilan coklat dengan carat yang tidak benar, tidak membaya, sehingga akibat dari perbuatan teresebut dapat menimbulkan kerugian. Dengan demikian pencurian coklat yang dilakukan ibu-ibu tersebut termasuk ke dalam pencurian biasa, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 362 tentang pencurian.

Jadi kalau saat kejadian pencurian dilakukan, karyawan atau penjaga toko alfa mart langsung melaporkan atau menyerahkannya ke pihak berwajib maka ibu-ibu yang diduga mengambil coklat tersebut, bisa lansung diproses hukum, akan tetapi dari video yang beredar tersebut karyawati alfa mart tersebut hanya melakukan perekaman yang meminta agar si ibu jujur dan membayar coklat yang diambilnya.

Setelah video aksi pencurian tersebut viral, tidak berselang lama muncul video permintaan maaf dari karyawati alfamart yang didampingi oleh ibu-bu yang diduga sebagai pelaku pencurian dan seorang laki-laki yang kalau tidak salah mengaku sebagai pengacara ibu-ibu tersebut. Dari kasus ini timbul keanehan, kenapa korban pencurian dalam hal ini penjaga alfamat yang harus meminta maaf kepada pelaku pencurian. Ko bisa begitu ya. Yang dicuri meminta maaf kepada yang mencuri, jangan-jangan ada sesuatu yang salah disini.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah tindakan karyawati yang merekam dan memviralkan aksi pencurian tersebut melalui media sosial dapat dikenai pidana atau hukuman, dengan alasan atau tuntutan telah melakukan pencemaran nama baik, sehingga hal ini menjadi kekhawatiran karyawati tersebut dan akhirnya meminta maaf kepada pelaku pencurian, atau bisa juga karena adanya suatu hal yang menyebabkan karyawati alfamart tersebut terpaksa meminta maaf, seperti diduga adanya intimidasi atau diduga ditakut-takuti akan diproses hukum dengan dalih telah melakukan pencemaran nama baik si ibu yang mencuri tersebut.

Pencemaran nama baik melalui media sosial atau media elektronik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut dikatakan : “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) junto Pasal 27 ayat (3) pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) tersebut apakah karyawati Alfamart yang mengunggah video pencurian ke media sosial tersebut dapat dipidana? Untuk menjawab hal tersebut kita dapat merujuk pada SKB atau Surat Keputusan Bersama antara Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 tahun 2021, nomor 154 tahun 2021, nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana telah diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pada ketentuan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf c, dikatakan bahwa, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Oleh karenanya berdasarkan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf c sebagaimana yang tercantum dalam keputusan bersama menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indoneisa, karyawati alfamart yang menyebarakan video aksi pencurian tersebut tidak bisa dituntut berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kemudian bagaimana jika kasus tersebut diselesaikan secara damai atau diselesaian secara kekeluargaan, dan berakhir dengan permintaan maaf saja?

Berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pada Pasal 2 ayat (5) dikatakan penanganan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu penyelidikan, dan huruf c penyidikan, dapat dilakukan penghentian penyelidikan atau penyidikan. Hal ini harus memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3, yaitu syarat umum dan/atau khusus. Persyaratan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 meliputi syarat formil dan syarat formil. Salah satu syarat materiil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 meliputi ;

  • tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
  • tidak berdampak konflik sosial;
  • tidak berpotensi memecah belah bangsa;
  • tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
  • Bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
  • bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang.

Sedangkan syarat formil sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 meliputi ;

  • Perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba;dan
  • Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana narkoba.

Pemenuhan hak korban ini dapat berupa ; mengembalikan barang, mengganti barang, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.

Kemudian pada tingkat kejaksaan berdasarkan Pasal Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorartif. Dalam Pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa, perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhinya syarat sebagai berikut ; tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Selain memenuhi syarat dimaksud, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilakukan dengan memenuhi syarat ;

Telah ada pemulihan Kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara ;

  • mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
  • mengganti kerugian korban
  • mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.

Kemudian telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, dan masyarakat merespon positif.

Perlu diketahui bahwa saat ini penegakan hukum terhadap tindak pidana tertentu lebih mengedepankan keadilan restorative. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Intinya adalah jika terjadi tindak pidana maka dari tingkat penyelidikan, penyidikan di kepolisian dan tingkat penuntutan di kejaksaan, untuk kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restorative.

semoga bermanfaat wassalaamualaikum wr wr

Alih Usman (Bang Ali)

Penyuluh Hukum


Cetak   E-mail

Related Articles

KADARKUM

LOMBA KADARKUM BAGIAN 1